Perang Komisis Yudisial vs Mahkamah Agung

Polemik yang terjadi terkait kasus Antasati, kian meruncingkan peperangan diantara dua lembaga Negara. Komisi Yudisial, seperti diberitakan berbagai media cetak dan elektronik, berencana memeriksa hakim Mahkamah Agung, terkait dengan putusan kasasi yang diajukan oleh Antasari. Perdebatan kemudian muncul, apakah Komisi Yudisial akan memeriksa hakim Mahkamah Agung dalam konteks kode etik hakim (code of conduct) semata, ataukah merembes masuk pada pemeriksaan substansi putusan yang menjerat Antasari selama 18 tahun tersebut?

Hal ini tentu saja tidak akan menjadi sebuah polemik jika keputusan hakim kasasi Mahkamah Agung, tidak mengandung makna yang multi-tafsir dalam hal putusannya, yang mencakup penilaian (ratio) serta diktum (dicta) yang diputuskan berdasarkan putusan pengadilan sebelumnya. Komisi Yudisial mengindikasikan bahwa apa yang telah diputuskan oleh hakim kasasi MA, tidaklah mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan, yang seharusnya menjadi salah satu unsur pokok penilaian hakim. Dasar yang digunakan oleh KY adalah putusan hakim kasasi yang diperkuat dengan laporan tim penasehat hukum Antasari. Dengan demikian, terdapat indikasi kuat bahwa hakim kasasi cenderung hanya mempertimbangkan diktum atau putusan pengadilan sebelumnya, namun mengabaikan unsur penilaian (ratio) terkait fakta-fakta persidangan sebelumnya.

Integritas Hakim

Dalam memutuskan perkara ditingkat banding, terdapat proses yang harus dilalui secara benar oleh seorang hakim, agar mencapai putusan yang adil dan bijaksana. Setiap hakim akan mengulas fakta-fakta menyolok dari suatu perkara, menentukan persoalan yang harus diputuskan dan selanjutnya mengulas argumen hukum untuk, dalam suatu cara tertentu memutuskan persoalan tersebut, sebelum sampai pada keseimpulan dan keputusan (De Cruz, 2010:353). Dengan demikian, hakim dalam memutus perkara, harus mengutamakan penilaian terlebih dahulu terhadap subtansi perkara dibandingkan dengan putusan yudisial pada peradilan sebelumnya. Untuk itu, hakim dalam konteks kode etik, tidak semata hanya soal moralitas dan perilaku, namun juga terkait erat dengan cara ia mengambil suatu penilaian terhadap suatu perkara. Prinsip inilah yang justru sangat penting dalam menilai seorang hakim.

Namun dalam sebuah kesempatan, Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, memberikan reaksi negatif terhadap rencana pemanggilan dan pemeriksaan hakim kasasi MA yang menangai kasus Antasari. Dimana ia berpendapat bahwa, Komisi Yudisial tidak boleh melakukan pemeriksaan terkait dengan substansi putusan. Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, dalam sebuah wawancara. Substansi putusan Hakim, bukan wilayah Komisi Yudisial, tapi lebih kepada pemeriksaan perilaku seorang hakim (code of conduct). Inilah dasar perdebatan penting diantara kedua lembaga Negara, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Pertanyaannya adalah, apakah KY memang atau boleh memeriksa susbstansi putusan seorang hakim?

Putusan hakim tentu saja tidak hanya dipengaruhi oleh norma hukum yang telah diatur dalam perundang-undangan. Hakim juga sangat dipengaruhi oleh beragam faktor, pendidikan, perkembangan sosial, teknologi dan lainnya. Maka dari itu, reaksi para hakim terhadap suatu perkara, juga berbeda-beda. Menurut Friedman (2009:229), para hakim tidak bereaksi terhadap kasus-kasus dengan cara yang seragam. Semangat, kesadaran nurani, atau unsur non-hukum tertentu, mungkin mengontrol kasus yang penting. Kasus yang menjadi berita besar di koran, akan menjadi persoalan dengan tantangan tertentu. Dalam kasus Antasari yang menjadi perhatian publik sepanjang tahun 2010, tentu saja menuntut integritas tinggi serta sikap profesionalisme hakim, dalam memutuskan perkara ditingkat banding. Namun justru inilah yang menjadi alasan pokok Komisi Yudisial dalam memeriksa hakim kasasi Antasari, dimana Komisi Yudisial menemukan adanya indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari. Komisi Yudisial mensinyalir adanya sejumlah bukti-bukti penting yang justru tidak dihadirkan hakim dalam persidangan.

Disnilah Komisi Yudisial menempatkan profesionalitas hakim sebagai bagian dari integritas hakim, yang tidak bisa dipisahkan dari cara, proses dan hasil putusan akhir hakim kasasi Antasari. Kita tidak boleh mendikotomikan antara profesionalitas dengan substansi putusan. Sebab dari substansi putusan inilah yang pada akhirnya membuktikan, apakah hakim kasasi profesional atau tidak dalam memutus perkara. Disamping itu, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks kewajiban seorang hakim, juga berbanding linear dengan kredibilitas dan integritasnya. Jika hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh-sungguh ditegakan sebagaimana mestinya (Asshiddiqie, 2005:139). Untuk itu, mempelajari perilaku seorang hakim, tidak bisa kita lepaskan dari substansi perkara yang diputuskan. Sebab substansi perkara yang diputuskan tersebut, tentu saja didasari oleh kredibilitas dan integritas seorang hakim.

Kewenangan Komisi Yudisial


Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diberikan wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Wewenang inilah yang menjadi fungsi pokok dari Komisi Yudisial selain dari wewenang mengajukan calon Hakim Agung. Dalam hal indikasi pelanggaran kode etik dan profesionalisme hakim pada kasus Antasari, Komisi Yudisial memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Laporan yang disampaikan oleh tim penasehat hukum Antasari, terkait fakta-fakta persidangan yang tidak dindahkan oleh hakim kasasi, tentu saja menjadi alasan utama, mengapa Komisi Yudisial berencana memanggil dan memeriksa majelis hakim yang memutus perkara kasus Antasari tersebut.

Komisi Yudisial dalam hal ini telah mengambil langkah tepat dengan memanggil hakim kasasi kasus Antasari, sebab berdasarkan fakta-fakta persidangan ditingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Majelis Hakim tingkat kasasi, tidak menjadikannya fakta dalam sidang kasasi. Pengabaian fakta-fakta persidangan tersebut, merupakan indikasi pelanggaran kode etik dan profesionalisme seorang hakim dalam menila dan memutus perkara. Namun demikian, proses pemeriksaan yang dilakukan Komisi Yudisial, tetap dalam norma hukum yang tidak boleh mengurangi kebebesan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 Ayat 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Sebab Komisi Yudisial dalam hal ini, melakukan proses pemeriksaan terkait dengan cara dan sikap profesionalisme hakim dalam memutus perkara Antasari. Jika pemeriksaan ini dijadikan alasan bahwa kedepan akan membuat hakim ragu dalam memutus perkara, sangatlah berlebih. Sebab jika hakim benar-benar menjalankan proses hukum sebagaimana mestinya, tentu saja tidak ada yang perlu ditakutkan.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Jogja, Sabtu 7 Mei 2011

Referensi :

  • De Cruz, Peter. 2010. Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Socialist Law. Bandung : Penerbit Nusa Media.
  • Asshidiqie, Jimly. 2005. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta : Konstitusi Pers.
  • Friedman, M. Lawrence. 2009. Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial. Bandung : Penerbit Nusa Media.

Komentar