Dosa Besar Itu Bernama Utang

Utang? ya, lagi-lagi soal utang. Puluhan tahun utang Negara kita mengendap, tapi tidak pernah sedikitpun dinikmati oleh Rakyat Indonesia. Utang-utang najis itu hanya menjadi milik para koruptor, para pejabat, para penguasa dan para bedebah negeri ini. Anda tahu berapa utang Negara kita hingga hari ini? Utang Indonesia hingga bulan Mei 2012 sebesar Rp 1.944,14 triliun (Sumber : Kompas). Jumlah yang sangat besar. Bayangkan jika sejumlah tersebut ditukat dengan es batu, mungkin seluruh wilayah negeri ini banjir.

Ironi, disaat utang Negara kita begitu besar, justru Pemerintah berencana memberikan pinjama kepada IMF sebesar 1 Miliar US Dollar. Bangsa macam apa ini? Kata orang bijak, kebetulan orang bijaknya saya sendiri, “Orang yang tidak mau bercermin, adalah orang yang bermuka tebal“. Dan inilah yang sedang dilakoni oleh Penguasa hari ini. Disaat kondisi Negara sedang terpuruk, Pemerintah justru masing senang mencitrakan dirinya seolah-olah kaya dan dermawan. Untuk menyumbang gedung baru KPK saja, sulit. Ini malah menawarkan pinjaman ke IMF, lembaga keuangan penjarah Negara Dunia ke-tiga.

Lagi-lagi ironi, ditengah tumpukan utang yang mungkin sulit terbayar hingga 7 turunan, Pemerintah malah berencana menambah utang baru dengan alasan defisit APBN dan antisipasi krisis global. Pemerintah menargetkan menambah utang sebesar 5,5 Miliar Dollar AS. Saat ini Pemerintah sudah mendapatkan komitmen pinjaman dari Bank Dunia sebesar US$ 2 miliar, ADB sebesar 500 juta dollar AS dan Australis sebesar 1 Miiar Dollar AS. Gila! Benar-benar gila penguasa hari ini.

Inilah dagelan kekuasaan. Sistem ekonomi diarahkan untuk lebih mengabdi kepada kepentingan modal dan strategi utang adalah pilihan satu-satunya. Kita jangan pernah lupa dengan sejarah. Bahwa karena utanglah, beban Rakyat semakin berat. Karena utang pulalah Negara kita didikte seenaknya oleh Bangsa asing. Mustahil merdeka dengan utang dan tidak mungkin bicara kedaulatan lewat utang. Kita ingin merdeka secara politik diatas kaki kita sendiri dan berdaulat secara ekonmi dengan peluh keringat kita sendiri. Seperti kata Pramoedya, “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain“. Untuk itu, kita harus berjuang semampu mungkin demi kebebasan dan kemerdekaan kita sendiri. Bukan bersandar kepada para bedebah!

Komentar