Siapa Capres Yang Pro Buruh?

Peta pertarungan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, menyisakan dua kubu saja, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Melancarkan kritik terhadap salah satu kubu, tentu saja memberikan konsekuensi keberpihakan terhadap kubu yang lain. Untuk itu, membandingkan keduanya tentu saja membutuhkan analisa secara objektif dan terukur. Kita tidak sekedar mencari kelemahan diantara kedua kubu, tetapi mencoba memahami seberapa kuat komitmen keberpihakan terhadap buruh diantara keduanya. Setidaknya publik perlu mengerti dan mengetahui visi dan misi calon pemimpinya, sehingga pemilihan umum ini dapat berjalan dengan kualitas kecerdasan pemilih (khususnya bagi kaum buruh) yang memadai.

Setidaknya, calon presiden yang memiliki komitmen kuat terhadap kepentingan buruh, dapat diklasifikasi dalam beberapa indikator . Pertama, perlindungan hak normatif buruh, mulai dari perbaikan upah, kondisi kerja, hak cuti, kesehatan, hingga kebebasan berorganisasi. Kedua, jaminan masa depan buruh, yang mencakup penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Ketiga, mendorong regulasi perburuhan yang pro terhadap kepentingan buruh, baik Undang-Undang, PP, Kepmen dan peraturan lainnya. Dan Keempat, akses terhadap penentuan kebijakan publik, khususnya sektor perburuhan yang partisipatif. Kaum buruh harus mampu ditempatkan sebagai elemen dasar dalam setiap penentuan kebijakan Negara.

Membandingkan Visi-Misi

Dalam dokumen visi-misi pasangan Prabowo-Hatta yang bertajuk "Agenda dan program nyata untuk menyelematkan Indonesia", setidaknya terdapat beberapa poin yang menyiratkan sikap mereka terhadap kepentingan buruh (Sumber : KPU). Pertama, meningkatkan keharmonisan hubungan industrial dengan jalan memperbaiki koordinasi dan komunikasi antara pekerja, dunia usaha dan pemerintah (I 11b). Kedua, mendorong perbankan nasional dan lembaga keuangan lainnya untuk memprioritaskan penyaluran kredit bagi petani, peternak, nelayan, buruh, pegawai, industri kecil menengah, pedagang tradisional dan pedagang kecil lainnya (II 2). Dan Ketiga, melindungi dan memperjuangkan hak-hak buruh termasuk buruh migran (TKI/TKW) (II 5).

Sedangkan pasangan Jokowi-JK, menuangkan program bidang perburuhan dalam agenda prioritas berdikari dalam ekonomi (poin 5), antara lain pengendalian inflasi harus dilihat sebagai bagian integral dari perjuangan buruh, pembangunan perumahan untuk buruh dikawasan industri tidak dapat ditunda lagi, APBN harus menjadi bagian penting dari pelayanan hak-hak buruh, pelarangan kebijakan alih tenaga kerja di BUMN, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan penyerapan tenaga kerja, mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean, revisi terhadap UU 39/2004 tentang penempatan TKI, mendukung pengesahan UU sistem dan komite pengawas ketenagakerjaan, UU tentang sistem pengupahan dan perlindungan upah, UU PRT dll (Sumber : KPU).

Dari dokumen visi-misi kedua pasangan capres, terlihat bahwa pasangan Jokowi-JK lebih komprehensif dalam menjabarkan program dibidang perburuhan. Perbedaan dari keduanya hanya dari penjabaran program yang lebih rinci. Jika pasangan Prabowo-Hatta langsung mengarah kepada rumusan program yang bersifat lebih umum, maka pasangan Jokowi-JK lebih mampu merinci apa saja cakupan program pemberdayaan terhadap buruh.

Namun demikian, kedua pasangan sama sekali tidak menyinggung bagaimana mereka meyikapi kebijakan pengupahan, perlindungan dan jaminan berorganisasi, pengawasan terhadap pelanggaran hak normatif, sistem kerja kontrak dan outsourcing, hingga ruang partisipasi kaum buruh dalam setiap penentuan kebijakan Negara, khususnya disektor perburuhan.

Pro Buruh?

Komitmen terhadap kepentingan buruh, memang tidak hanya sebatas visi-misi. Tetapi dari apa yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres, setidaknya telah memberikan gambaran seperti apa keberpihakan mereka terhadap agenda perjuangan kaum buruh selama ini. Serapa umum, visi-misi kedua pasangan capres, nampak masih jauh dari harapan buruh. Ada beberapa aspek, yang menjadi kritikan dari visi-misi serta program yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres. Pertama, kedua pasangan capres tidak secara tegas menjawab tuntutan buruh terkait kesejahteraan, khususnya kenaikan upah. Jika mengacu kepada survei Bank Dunia, sesungguhnya komponen upah buruh (labour cost) hanya berkisar 9-12 persen dari todal biaya produksi. Bandingkan dengan pungutan liar yang mencapai 19-25 persen dari total biaya produksi (Sumber : Tribunnews). Program kenaikan upah buruh dalam presentase tertentu, adalah hal yang masuk akal bagi kedua pasangan.

Kedua, kedua pasangan capres tidak bersikap tegas terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing yang selama ini menghantui jaminan masa depan buruh. Meskipun salah satu pasangan menuangkan program pelarangan kebijakan alih tenaga kerja di BUMN, tetapi program ini tidak mampu memberikan jaminan diluar perusahaan plat merah. Persoalan sistem kerja kontrak dan outsourcing, merupakan persoalan yang dihadapi oleh buruh secara umum, bukan bagi buruh disektor BUMN semata. Ketiga, kedua pasangan calon tetap mengadopsi konsep pasar bebas dalam program ekonominya. Selama ini, pola ekonomi yang berbasis pasar bebas inilah yang mengakibatkan daya saing industri domestik rontok dan berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal bagi buruh.

Secara prinsip, visi-misi dan program kedua pasangan capres, sejatinya belum mencerminkan keberpihakan kepada buruh secara utuh. Kedua pasangan capres boleh saja beralasan jika ini hanya sebatas visi-misi. Tetapi keutuhan dan "keberanian" menuangkan program seraca menyeluruh terhadap apa yang menjadi agenda perjuangan kaum buruh selama ini, seharusnya menjadi dasar bagi kaum buruh untuk menilai kedua pasangan tersebut. Uraian visi-misi kedua pasangan capres, tentu saja tidak cukup menilai komitmen keberpihakan. Tetapi, setidaknya kaum buruh dapat memahami karakter kedua pasangan tersebut dari apa yang mereka tulis. Benarkah mereka pro atau tidak terhadap buruh?

Komentar