Korupsi Dan Politik Dinasti

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, membuka mata kita tentang bagaimana sesungguhnya politik dinasti bekerja. Politik dinasti memiliki daya rusak yang begitu besar dalam sistem pemerintahan. Ia melumpuhkan tugas pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Daerah, yang seharusnya berjalan dalam mekanisme check and balances system. 2 orang yang ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh KPK dalam OTT ini, berstatus sebagai suami-istri. Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur, Encek UR Firgasih. Selain keduanya, juga turut ditetapkan sebagai tersangka 3 orang Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dan 2 orang lainnya lagi berasal dari pihak swasta.

Bisa ditebak bukan, bagaimana urusan pengelolaan pemerintahan daerah dan pengambilan kebijakan-kebijakan strategis, harus dibicarakan dan diputuskan di rumah? Ini menjadi contoh dari model conflict of interest yang paripurna. Hampir dipastikan, tidak akan ada pengawasan yang memadai atas kinerja Bupati, jika yang diberikan mandat untuk mengawasinya, adalah istri sendiri. Mereka bisa saja berlindung di balik kata “profesionalitas”. Akan tetapi, relasi kekeluargaan diantara keduanya, membuat penilaian objektif akan sangat sulit dilakukan. Pendekatan emosional akan jauh lebih dominan dibanding penilaian rasional. Lantas apakah memang politik dinasti itu dilarang dalam sistem politik dan pemerintahan kita? Kenapa ia begitu dibenci dan apakah ada pertalian antara korupsi dan politik dinasti? Tulisan ini akan menguraikannya secara sederhana. 

Politik Dinasti

Politik dinasti bukan hal yang baru dalam negara demokrasi modern. Menurut Dal Bó dkk, di Amerika Serikat, prevalensi dinasti di kalangan legislator memang tinggi ketika dibandingkan dengan pekerjaan lain[1]. Sebuah studi yang dilakukan oleh Farida Jalalzai dan Meg Rincker pada tahun 2018, menemukan fakta bahwa satu dari sepuluh pejabat eksekutif di seluruh dunia, merupakan milik keluarga politik (belonging to a political family)[2]. Studi ini menganalisis latar belakang dari 1.029 pejabat eksekutif, terutama Presiden dan Perdana Menteri, yang menjabat antara tahun 2000-2017. Sebanyak 119 orang atau sekitar 12% dari total 1.029 pejabat eksekutif tersebut, memiliki relasi kekeluargaan dengan klan politik tertentu. Berdasarkan wilayah, Eropa dan Amerika Latin memiliki persentase tertinggi, yakni sekitar 13%, disusul Asia sekitar 11%, dan Afrika sub-Sahara sekitar 9%[3]. Berikut ini adalah tabulasi pemegang kekuasaan eksekutif berdasarkan wilayah.

Executive Office Holders by Region

Region

Number (%)

Office Holders With Family Ties

Percent Office Holders With Family Ties

Europe

417 (41)

54

13

Sub-Saharan Africa

312 (30)

29

9

Asia

204 (20)

23

11

Latin America

88 (9)

11

13

North America

8 (0)

2

25

Total

1029 (100)

119

12

Sumber : Farida Jalalzai dan Meg Rincker (2018)

Di Indonesia sendiri, politik dinasti muncul dan berkembang biak dalam wujud sistem patrimonial, yakni sistem regenerasi politik yang ditentukan berdasarkan garis genealogis atau pewarisan. Dalam sistem patrimonial ini, seseorang ditunjuk menjadi pemimpin hanya atas dasar kekerabatan, bukan karena kemampuan dan kapabilitasnya berdasarkan mekanisme merit system. Namun hari ini, sistem patrimonial tersebut mengalami tansformasi yang cenderung beradaptasi dengan perkembangan politik modern. Kalau dulu pewaris ditunjuk secara langsung, maka hari ini proses keterpilihan itu didesain melalui mekanisme legal formal, baik melalui “partai politik” maupun lembaga-lembaga publik strategis lainnya. Kenapa harus partai politik? Menurut Dal Bó dkk, ketika suatu partai dengan aman mengontrol suatu negara, mereka yang ada di dalamnya akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol dukungan kepada calon yang berhubungan dengan keluarga atau relasi sosialnya[4].

Dari aspek regulasi, larangan politik dinasti sendiri sempat dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun pada tahun yang sama, undang-undang tersebut diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan diputuskan batal secara hukum. Mahkahmah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 33/PUU- XIII/2015, telah memberikan landasan legal formal terhadap keberadaan politik dinasti dalam Pilkada. Putusan MK ini didasari oleh pertimbangan hukum (ratio decidendi), yakni demi mencegah terjadinya perlakuan diskriminatif dalam Pilkada. Sebab hak memilih dan dipilih, adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun meski secara normatif tidak dilarang, politik dinasti tetaplah dianggap tidak memenuhi “syarat etik” di dalam sistem pemerintahan. Pendekatan berdasarkan politik kekerabatan dalam penentuan jabatan-jabatan publik (official elected), adalah sesuatu yang dianggap penuh dengan aroma konflik kepentingan.

Jalan Korupsi

Berdasarkan data, tren politik dinasti ditingkat daerah memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dalam kurun waktu 2010-2014, terdapat 61 daerah yang menerapkan praktik politik dinasti. Maka berdasarkan hasil penelitian terbaru, jumlah daerah yang menerapkan politik dinasti, sudah mencapai 117 atau sekitar 21 persen dari jumlah daerah otonom kita[5]. Merujuk data Kementerian Dalam Negeri, politik dinasti ini tersebar merata diseluruh Indonesia, seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan[6]. Salah satu yang fenomenal dan menyita perhatian publik adalah dinasti politik yang dibangun oleh Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Sejumlah jabatan publik di Banten, dikuasai oleh keluarga Ratu Atut. Misalnya Wakil Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, adalah adik Ratu Atut. Adik ipar sang Gubernur, Airin Rachmi Diany merupakan Walikota Tangerang selatan. Heryani, ibu tiri Gubernur Ratu Atut, menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang, dan sejumlah jabatan penting lainnya juga dikuasai oleh keluarga Ratu Atut[7].

Lantas apakah politik dinasti berbanding lurus dengan praktek korupsi? Memang politik dinasti tidak serta merta (ex-officio) membuat seseorang menjadi koruptor. Namun politik dinasti memberikan ruang dan melapangkan jalan terjadinya korupsi. Hal ini yang rasanya sulit untuk dibantah jika melihat data yang tersedia. Sebelum kasus OTT yang melibatkan dinasti politik di Kutai Timur, setidaknya sudah terdapat sekurang-kurangnya 6 dinasti politik yang terlibat dalam pusaran korupsi, antara lain : Ratu Atut Chosiyah di Banten, Syaukani Hassan Rais di Kutai Kartanegara, Atty Suharti di Cimahi, Fuad Amin Imron di Bangkalan, Sri Hartini di Klaten, dan Yan Anton Ferdian di Banyuasin[8]. Dalam konteks kasus Kutai Timur, politik dinasti menyebabkan fungsi pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Daerah, menjadi lumpuh. Dalam kondisi demikian, kejahatan korupsi akan terjadi secara brutal tanpa kendali dan kontrol.

Politik dinasti dan korupsi, adalah dua hal yang sulit dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling bertalian. Melalui politik dinasti, penumpukan kekuasaan akan terjadi hanya kepada satu kerabat saja. Bahkan kendali kuasa ini akan menjangkau semua hal, mulai dari penguasaan sumber daya ekonomi, penguasaan partai politik, penguasaan jabatan-jabatan strategis birokrasi, hingga penguasaan terhadap oraganisasi kemasyarakatan yang strategis. Pertanyaannya, lantas siapa yang mengawasinya? Ketika kekuasaan berjalan tanpa kontrol, maka niscaya kejahatan korupsi hanya persoalan waktu saja. Karena itulah, politik dinasti harus kita putus dalam rantai politik kita. Dan dalam fase awal, kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap daerah-daerah yang sarat dengan politik dinasti, harus dilakukan terlebih dahulu. KPK sendiri dalam berbagai forum dan kesempatan, menegaskan bahwa politik dinasti di daerah-daerah akan menjadi atensinya, mengingat politik dinasti memyimpan kecenderungan untuk memiliki, atau meraup kekayaan di wilayah dalam kewenangannya[9]. Sebab politik dinasti, melapangkan jalan korupsi!

Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Disway Kaltim, edisi Kamis 9 Juli 2020, dengan judul “Politik Dinasti Memudahkan Praktek Korupsi”. Sumber gambar : mojok.co.


[1] Ernesto Dal Bó, Pedro Dal Bó, and Jason Snyder. 2007. Political Dynasties. Cambridge, Massachusetts : The National Bureau of Economic Research (NBER) Working Paper Series. Dapat diunduh di : https://www.nber.org/papers/w13122.pdf. Diakses pada tanggal 06 Juli 2020 Pukul 06.41 Wita.

[2] Jalalzai, Farida, and Rincker, Meg. 2018. Blood is Thicker than Water: Family Ties to Political Power Worldwide. Historical Social Research 43 (4): 54-72. https://doi.org/10.12759/hsr.43.2018.4.54-72.

[3] Ibid.

[4] Dal Bó dkk (2007). Op.Cit.

[5] Republika.co.id, “Cengkeram Korupsi Di Daerah Politik Dinasti”, https://republika.co.id/berita/qd2p4c328/cengkeram-korupsi-di-daerah-politik-dinasti. Diakses pada tanggal 08 Juli 2020 Pukul 00.04 Wita

[6] Kemendagri.go.id, “Kemendagri: Dinasti Politik Semakin Meluas”, https://www.kemendagri.go.id/berita/baca/11872/kemendagri-dinasti-politik-semakin-meluas. Diakses pada tanggal 06 Juli 2020 Pukul 06.13 Wita.

[7] Ibid.

[8] Kompas.com, “6 Dinasti Politik dalam Pusaran Korupsi, Suami-Istri hingga Anak-Orangtua Bersekongkol”, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/02/07292391/6-dinasti-politik-dalam-pusaran-korupsi-suami-istri-hingga-anak-orangtua?page=all. Diakses pada tanggal 06 Juli 2020 Pukul 06.46 Wita

[9] Ibid.

Komentar